Prof Hermawan Sulistyo: Jarang Ada Kajian Tentang Instrumen yang Digunakan Teroris

0

KEPALA Pusat Study Keamanan Nasional Universitas Bhayangkara (Ubhara) Jakarta Raya, Prof.(Ris) Hermawan Sulistyo.MA, PhD mengatakan kebanyakan kajian tentang terorisme hanya terfokus pada pelaku atau jaringan pelaku, motif pelaku serta modus operandi tindakan teroris itu sendiri.

Dia menyanagkan jarang sekali dilakukan studi tentang jaringan pendanaan, dan lebih jarang lagi tentang perangkat atau instrumen teroris.Kajian tentang pendanaan seperti yang dilakukan Napolitano, tidak ada yang melanjutkan.

Hal itu ditegaskan Hermawan Sulityo atau yang akrab dipanggil Kikiek ketika berbicara di hadapan peserta seminart nasional Perkembangan Terorisme dan Kontra Terorisme di Indonesia, di Ubhara, Bekasi, Rabu (10/5). Seminar ini diadakan terkait wisuda Sekolah Kamnas angkatan ke-2. Saat itu sebanyak 31 orang yang diwisuda.

Ketika membawakan makalah berjudul Perubahan Pola dan Modus Terorisme, Hermawan Sulistyo mengatakan saat ini, bahkan sama sekali belum ada studi tentang persenjataan dan perangkat kekerasan lainnya yang digunakan oleh teroris.

 

 

“Mengapa tidak ada yang mau mengkaji darimana senjata termasuk bom yang tiap saat diluncurkan oleh teroris. Negara mana yang mensuplaynya agar dapat dihentikan,” kata Hermawan bertanya-tanya.

Tapi, dia lebih jauh memaparkan soal pelaku yang menurutnya definisi rerorisme sudah terjadi semenjak awal peradaban manusia, tetapi akar-akarteroris moderen baru berlangsung dekade 1970-an di Eropa Barat. Pada tahun tersebut para mahasiswa dan kaun intelektual mengklaim diri mereka sebagai kaum anarkis, dengan instrumen utama adalah bom molotov. Perjuangan mereka dilandasi oleh ideologi sosialis kiri.

“Manakala terjadi interaksi antara fgenomena politik formal dengan gerakan mahasis radikal yang anarkis serta tumbuhnya gerakan politik off stream yang memilih jalan ektra radikal dalam format terorisme maka masukakal saja jika tumbuh miskonsepsi tentang gerakan mahasiswa radikal tyang menjadi embrio terorisme di Eropa Barat dasawara 1970an. Situasi ini mirif dengan gerakan mahasiawa 1998 di Indonesia,” kata Hermawan Sulistya.

Tetapi sebagian kaum anarkis lebih memilijh jalur demokrasi perwakilan, Mereka, kata Hermawan, masuk ke dalam pemerintahan dan parlemen.

Sementara itu, dilihat dari motif terjadi pergeseran. Mula-mulatindakan yang beyond ordenary crime adalah to fight of struggle for a cause yang umumnya bersifat politis. Contohnya tuntutan IRA adalah sparatism. Begitupula dengan tuntutan MNLA, Tamil Eelam, serta berbagai gerakan sparatis lainnya yang menganmbil jalan terorisme demi mencapai tujuan politikmereka. “Atau bisa jadi sekadar luapan prustasi pada kasus-kasus teror bunuh diri,” papar Prof kikiek,

Nah, katanya, puncak terorisme dengan peristiwa 911 telah mengubah wajah terorisme dunia, Dua tahun kemudian terjadi peristiwa serupa dengan bom Bali 1 yang bukan saja mengubah wajah terorisme di Indonesia melainkan juga mengubahnasib Polri “Kedua peristiwa ini mengandung muatan yang bukan sekadar politik. Keduanya secara signifikan menandai munculnya pelaku-pelaku yang menjadimartir bunuh diri.

Untuk diketahui dalam seminar tersebut hadir pula sebagai Keynote speaker Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang diwakili oleh Waka Densus 88 Brigjen Edy Hartono, Dr H As’ad Said Ali, Komjen (Pur) Ahwil Luthan, H Hendry Yosodiningrat. (khu)

 

Sumber: deteksionline.com 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *