Hermawan Sulistyo: Kalau Mau Gaji Lebih, Jangan Jadi Tentara atau Polisi

0

Kepala Puskamnas Ubhara Jaya, Hermawan Sulistyo

Kepala Pusat Kajian Keamanan Nasional Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Hermawan Sulistyo mengingatkan jika seseorang ingin meminta gaji lebih, jangan memilih menjadi tentara atau polisi.

Pernyataan itu diungkap Hermawan kala menjadi narasumber di acara Indonesia Lawyers Club TV One , Selasa (2/9/2020), saat diminta memberikan pandangannya tentang penyerangan di Polsek Ciracas oleh oknum TNI.

Menyoroti peristiwa itu, Profesor Universitas Bhayangkara ini mengingatkan bahwa setiap jabatan yang diberikan negara memiliki kompensasi masing-masing.

“Misalnya, saya profesor nih. Profesor itu jabatan akademik yang diberikan oleh negara sehingga negara mempunyai konsekuensi memberi kompensasi. Profesor itu jabatan akademik, bukan gelar akademik,” kata Hermawan mencontohkan.

Ia memaparkan gaji beserta tunjangannya yang tidak lebih dari Rp 15 juta per bulan selama menjabat sebagai profesor.

“Setelah 40 tahun lebih saya mengabdi jadi PNS gajinya itu cuma 8 juta kok 9 juta, total dengan tunjangan-tunjangan 15 juta,” ungkap Hermawan.

Dari pemaparan gaji itu, ia lantas mengingatkan agar bagi siapa pun yang ingin meminta gaji lebih, ada baiknya untuk tidak memilih profesi profesional.

“Jadi jangan minta lebih. Kenapa? Kalau minta lebih negara tidak mampu, ya jangan jadi tentara, jangan jadi polisi. Pilihlah profesi pedagang yang bisa memberikan kesejahteraan lebih baik,” kata Hermawan.

Ia juga menyampaikan bahwa profesi tentara dan polisi adalah pilihan yang bisa ditentukan sejak awal, namun menurutnya juga memiliki isu krusial tersendiri.

“Organisasi polisi ini sejak awal rekruitmen, juga TNI, itu anak lulusan SMA itu sudah memilih. Bintara ini lulusan SMA normatif, Tamtama normatif, lulusan SMP, tapi hampir tidak ada sekarang SMP, pasti SMA,” ujar Hermawan.

Ia menjelaskan tentang perbedaan pangkat yang dilalui oleh polisi dan tentara muda yang haus ditempuh agar bisa menjadi seorang profesional.

“Kalau polisi itu sempat dihapus Tamtama, karena yang dihadapi itu adalah masyarakat. Bagaimana seorang bintara polri lulusan SMA yang ditempatkan di komunitas masyarakat, di Menteng misalnya, semua penghuninya profesor, doktor, jenderal, segala macem pasti tidak berfungsi, oleh karena itu tidak diambil untuk Tamtama,” Hermawan memaparkan.

Dari perbedaan itu, Hermawan lantas mengungkap sejumlah posisi kecil yang biasanya diisi oleh polisi-polisi muda.

“Apa yang terjadi? Sekarang ada lagi alasannya adalah untuk Polair, ada fungsi-fungsi teknis yang minial yang tidak penting, yang terlalu besar kalau dilakukan oleh Bintara, jadilah dia Tamtaman, begitu juga Brimob. Padahal ini kan karir,” ungkap dia.

Hermawan menyebut bahwa fungsi-fungsi penugasan polisi ditempatkan di urusan pelayanan publik, bukan di penegakan hukum.

“Tidak ada pikiran misalnya, ya sudah Bintara semua Bintara baru, pekerjaan minial yang kecil yang remeh temeh itu ditempatkan di sana selama satu tahun atau dua tahun. Sama seperti kepolisian Jepang. Semua alumni pendidikan awal itu ditaruh di fungsi pelayanan publik, bukan di penegakan hukum,” lanjut Hermawan.

Hermawan beranggapan bahwa penugasan di posisi kecil itu disebabkan oleh struktur pendidikan yang belum cukup membuat para Bintara memahami profesi militer.

“Ini menyebabkan apa? Struktur pendidikannya tidak memenuhi mimpi-mimpi institusional jangka panjang. Akibatnya apa? Ada Bintara PK (Prajurit Karier) di TNI, di polisi ada Bintara level Brigadir Dua (Bripda) itu pendidikannya hanya 7 bulan diutak atik. Enggak ada dana, 7 bulan. Ada dana, 9 bulan. Dapat apa dia? 3 bulan untuk bintara PK itu tidak cukup untuk membentuk jiwa korsa yang memahami profesi militer,” ungkap Hermawan.

Ia juga menemukan ada pemahaman tertentu yang harus disadari tentang profesi militer.

“Profesi militer itu adalah kombatan di atas segala-galanya dia penjaga kedaulatan negara. Polisi? Bukan, polisi itu pelayan publik,” tegas Hermawan.

Di ujung penjelasannya, Hermawan juga mengungkapkan perbedaan mendasar tentang tentara dan polisi.
“Di dalam konteks demokrasi, kenapa polisinya over-reaching? Karena polisi memang statusnya ASN sekarang. Kalau dia melakukan pelanggaran pidana, dihukum di peradilan pidana, peradilan sipil. Tentara? Tidak. Apa kaitannya melanggar menabrak sepeda motor, tidak pakai SIM, tidak dihukum. Karena mereka tunduk pada peradilan militer, bukan peradilan sipil,” jelas Hermawan.

Ia menjelaskan tentang perbedaan pangkat yang dilalui oleh polisi dan tentara muda yang haus ditempuh agar bisa menjadi seorang profesional.

“Kalau polisi itu sempat dihapus Tamtama, karena yang dihadapi itu adalah masyarakat. Bagaimana seorang bintara polri lulusan SMA yang ditempatkan di komunitas masyarakat, di Menteng misalnya, semua penghuninya profesor, doktor, jenderal, segala macem pasti tidak berfungsi, oleh karena itu tidak diambil untuk Tamtama,” Hermawan memaparkan.

Dari perbedaan itu, Hermawan lantas mengungkap sejumlah posisi kecil yang biasanya diisi oleh polisi-polisi muda.

“Apa yang terjadi? Sekarang ada lagi alasannya adalah untuk Polair, ada fungsi-fungsi teknis yang minial yang tidak penting, yang terlalu besar kalau dilakukan oleh Bintara, jadilah dia Tamtaman, begitu juga Brimob. Padahal ini kan karir,” ungkap dia.

Hermawan menyebut bahwa fungsi-fungsi penugasan polisi ditempatkan di urusan pelayanan publik, bukan di penegakan hukum.

“Tidak ada pikiran misalnya, ya sudah Bintara semua Bintara baru, pekerjaan minial yang kecil yang remeh temeh itu ditempatkan di sana selama satu tahun atau dua tahun. Sama seperti kepolisian Jepang. Semua alumni pendidikan awal itu ditaruh di fungsi pelayanan publik, bukan di penegakan hukum,” lanjut Hermawan.

Hermawan beranggapan bahwa penugasan di posisi kecil itu disebabkan oleh struktur pendidikan yang belum cukup membuat para Bintara memahami profesi militer.

“Ini menyebabkan apa? Struktur pendidikannya tidak memenuhi mimpi-mimpi institusional jangka panjang. Akibatnya apa? Ada Bintara PK (Prajurit Karier) di TNI, di polisi ada Bintara level Brigadir Dua (Bripda) itu pendidikannya hanya 7 bulan diutak atik. Enggak ada dana, 7 bulan. Ada dana, 9 bulan. Dapat apa dia? 3 bulan untuk bintara PK itu tidak cukup untuk membentuk jiwa korsa yang memahami profesi militer,” ungkap Hermawan.

Ia juga menemukan ada pemahaman tertentu yang harus disadari tentang profesi militer.

“Profesi militer itu adalah kombatan di atas segala-galanya dia penjaga kedaulatan negara. Polisi? Bukan, polisi itu pelayan publik,” tegas Hermawan.

Di ujung penjelasannya, Hermawan juga mengungkapkan perbedaan mendasar tentang tentara dan polisi.

“Di dalam konteks demokrasi, kenapa polisinya over-reaching? Karena polisi memang statusnya ASN sekarang. Kalau dia melakukan pelanggaran pidana, dihukum di peradilan pidana, peradilan sipil. Tentara? Tidak. Apa kaitannya melanggar menabrak sepeda motor, tidak pakai SIM, tidak dihukum. Karena mereka tunduk pada peradilan militer, bukan peradilan sipil,” jelas Hermawan.

Sumber: https://www.suara.com/news/2020/09/02/161811/hermawan-sulistyo-kalau-mau-gaji-lebih-jangan-jadi-tentara-atau-polisi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *