Bina Keamanan-Nasional, Antara Nalar dan Seni
Kampus adalah tempat untuk olah nalar mesu budi. Sering disebut ivory tower, karena ruang kampus menjamin kebebasan akademis, kebebasan berpikir, merumuskan konsep tanpa terbatas ruang dan waktu. Tujuan utamanya adalah untuk teoretisasi..the power of reasons, intellectuality atau intellectualism merupakan etika dan orentasi yang amat dominan.
Dunia luar kampus adalah realitas, keharusan untuk hidup, menyelesaikan masalah, berkembang memenuhi cita-cita termasuk cita-cita. Reasons tidak cukup. Praktisi masih perlu menggunakan reasons tetapi juga menggunakan pragmatisme. Rasionalitas menjadi sesuatu yang kerap kali harus berdamai dengan konteks.
Relativisasi pendekatan akademik
Teori, konsep dalam kebijakan penyeleggaraan negara tdak lagi cukup beranjak dari kebenaran akademik. Asumsi yang menjadi dasar kebenaran ilmiah seakan-akan menjadi faktor itu sendiri – menjadi dasar pertimbangan dan sekalihus juga kebenaran. Apa yang dulu tertuang dalam buku, diajarkan para mahaguru, tidak bisa begitu saja selalu digunakan. Itu terjadi bukan hanya dibidang ilmu-ilmu humaniora dan sosial kemasyarakatan. Bahkan dibidang ilmu alam ada relativisasi. Gravitasi tidak 10 g/cm2 tetapi lebih besar atau lebih kecil, tergantung apakah gravitasi bumi itu diukur di katulistiwa atau kutub. Kecepatan cahaya selalu 300 juta km/detik; kecepatan suara tidak lagi 340 m/detik, angka-angka yang didapat di laboatorium.
Ada faktor koreksi, kreativitas, inovasi, adaptasi yang kerapkali memainkan peranan penting. Tak heran jika dalam konteks itu bisa terjadi kontestasi antara konsepsi akademik dan kebutuhan problem solving. Mekanika Newton mengenal friksi, yang menghambat gerak, dan ditentukan oleh di mana sebuah benda itu berada. Tekanan yang ditimbulkan oleh sebuah gaya oleh Boyle meniscayakan perhitungan tentang ruang (area). Bahkan dimensi fisik berubah ketika mereka bergerak melebihi kecepatan cahaya, seperti dikagtakan oleh Einstein. Di bidang ilmu humaniora, apalagi. Bisa dipastikan relativisme itu menjadi sesuatu yang semakin niscaya. Hal-hal terkait dengan ikeadaan, misalnya demokrjasi dan keamanan nasional, mejadi jauh lebih problematik.
Dalam keseluruhan konteks itu, sulit mencari komplikasi yang jauh lebih rumit dari perdebatan diskursus, perwujudan kebijakan, dan prioritas strategi operasional seperti di bidang keamanan naisnal (national security). Pengetahuan berubah, bukan hanya dalam ranah, konteks dan paradigma. Keamanan nasional tidak lagi semata-mata ranah kedaulatan negara dari ancaman militer tetapi juga dari ancaman nirmiliter. Keamanan nasional tidak lagi semata-mata kelangsungan hidup suatu negara berdaulat dan persatuan nasional di dalamnya, tetapi juga keamanan manusia (human security) sebagai individu dan kolektif; keamanan nasional menjadi sesuatu yang harus dijaga, dipelihara, dan dikembangkan tidak saja dengan instrumen persuasif tetapi juga non-persuasif, untuk tidak segera menyatakannya sebagai koersif.
Ada beberapa komplikasi. Pertama adalah munculnya paradigma baru tentang keamanan insani (human security). Kini dipercaya bahwa keamanan negara tidak cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan demokratik, humanisme, dan viable states. Berbagai bentuk ancaman global dan/atau transnasional seperti kemiskinan berkepanjangan, perubahan iklim, dan terorisme mungkin saja tidak sergtamerta terkait dengan keutuhan wilayah dan kedaulatan politik negara tetapi membawa konsekuensi serius bagi kesejahteraan, keselamatan, dan keamanan umat manusia. Ini masih menjadi perdebatan panjang, karena pada umumnya rumusan tentang human security memang pada mulanya muncul dari UNDP, bukan dari otoritas simblik di bidang keamanan seperti UN Security Council. Teoritisi konsep keamanan kritis (critical theorist on security) atau keamanan alternatif pada khususnya di Eropa, misalnya Barry Buzan dan Alexander Wendt, pada umumnya lebih banyak berkecimpung di kampus sebagai menara gading daripada dalam perumusan kebijakan.
Kedua, adalah perkembangan konseptual dengan munculnya isu ancaman non-tradisional, nirmiliter, non-konvensinal, global/transnasional atau apapun yang pada prinsipnya tidak menjadi kelajiman di masa lalu, termasuk keamanan insani (human security). Diskursus dominan di Indonesia adalah menganggap semua itu sebagai ancaman nirmiliter. Dalam kajian-kajian kontemporer di luar negeri, pada umumnya ada atribusi lain yang lebih kontekstual misalnya isu keamanan non-tradisional (non-traditional security issues), metoda peperangan non-konvensional dan/atau asimetrik. (assymetric/non-convenitonal/irregular warfare).
Ketiga adalah konteks politik dimana seluruh perdebatan, adopsi, dan kemudian perwujudan dari berbagai konsep itu dalam suasana reformasi pasca Orde Baru. Trauma pada otoritariasnisme Orde Baru, supremasi kekuatan koersif-represif, dominasi militer (angkatan bersenjata), absolutisme pemerintah pusat dan beberapa yang lain membekas begitu dalam. Diferensiasi ATHG pada masa orde baru, yang memang dibutuhkan sebagai instrumen proporsional, menjadi dikaburkan dengan absolutisme militeris, supremasi koersi, dominasi TNI. Bersamaan dengan itu, tradisi (strategic culture) negara memang tetap menjadi persoalan yang hingg akini tak terselesaikan. Hilang dari seluruh diskursus itu adalah keniscayaan untuk memahami keamanan nasional sebagai persoalan yang harus dimengerti sebagai konsep komprehensif tetapi dijawab dengan strategi integratif.
Akomodasi naratif, kebingungan operasional
Takmudah mencari titik temu dari berbagai fenomena global dan perkembanhgan politik domestik itu. Indonesia adalah sebuah laboratorium yang paling kompleks karena inkoherensi antara perkembangan intelektual, akademiks dan paradigmagtik yang terjadi diruang lembaga riset dan universitas dengan kebutuhan kebijakan, keharusan strategis dan keniscayaan operaional bagi para penyelenggara negara, khususnya di bidang terkait dengan keamanan nasional. Di ruang akademik keamanan nasional menjadi kata majemuk, tidak seluruhnya identik dengan keamanan yang menjadi wilayah pemerintah pusat (seperti dalam uu otonomi daerah), pemerintah federal (diplomasi, perang, intelijen penegakan hukum).
Di negara-negara maju, baik dari segi pengeloaan demokratik maupun bina bangsa, persoalan-persoalan itu muncul karena berbagai sebab. Berakhirnya Perang Dingin, redupnya ancaman perang nuklir, munculnya massive flow of illegal migration di Eropa, non-state actors (terrorism, organised crimes, smuggling) di beberapa negara merupakan salah satu faktor penting. Alat keamanan negara kewalahan untuk menghadapi masalah itu., model operasi lama yang dirumuskan dalam NATO takbisa digunakan dengan baik. Perang Balkan, ancaman terorisme dari seberang wilayah, perubahan demografik dan kesunyian psilko-kultural sebagian warga yang bermuara pada homegrown teroris di Barat, menimbulkan operational void. Militer militer memperoleh formula baru, MOOTW (Military Operation Other than War).
Di negara seperti Indonesia, semua itu ditambah pula dengan konstruksi geografis, sejarah, sentimen pasca colonial, inklinasi kemerdekaan dari asing dan/atau segala sesuatu yang terkait dengan tugas ganda negara untuk bina bangsa (national building) dan bina-negara (state building) – yang harus bermuara pada persatuan nasional dan pemerintahan demokratik. Stratgic culture Indonesia mencakup keharusan untuk memelihara keutuhan wilayah karena rentangan geografi kepulauan, tetapi juga obsesi kemandirian dari kakuatan asing, kemerdekaan dari berbagai bentuk infiltrasi dan intervensi; keharusan untuk worst case scenario atau mencegah pendadakan strategis sebagian diantarnya karena memori singkat (short memory) perang asinmetrik antara mitraliyur Belanda melawan bambu runcing para gerilya.
Akibatnya, pemahaman konseptual kerapkali mengalami distorsi. Central of gravity yang menurut Clausewitz merupakan kelemahan esensial pihak lawan ditafsirkan justru mnenjadi simpul kekuatan utama pihak-diri (self); gerilya yang dalam bentuk modern hanya dikaitkan pada tataran operasional sebagai assymmetric warfare tetap menjadi paradigma pada tataran doktrinal; jika di negara maju MOOTW menjadi mision-based peran tentara terutama dalam krisis kemanusiaan di luar wilayah nasional, di Indonesia menjadi bersifat inside national territory.
Semua itu hanya sekedar ilustrasi dari betapa Indonesia belum dapat melepaskan diri kesulitan untuk mengakomodasi konsep “non” kedalam kesemestaan dan ketidakcukupan memusatkan perhatian hanya pada TNI, Polri dan BIN saja terkaoit dengan identitas nasional..sejarah pembentukan negfara bangsa…. Ruang pembagian tugas semata-mata bersanadar pada pendekatan institusional, tuposki TNI, Polri dan lain-lain. Kit atahu ahwa pendekatan isntitusional tidak selruhnya bisa nmelepaskan diri dari beenggu tradisi, sejarah, organisasi yang ada, human resources yang tersedia dan sebaganya.
Disonansi identitas dan visi negara bangsa
Budaya strategis dibentuk karena beberapa faktor. Pertama, konstruksi geografi yang insuler merupakan cordon saniteire alami sehingga secara tradisional hanya dihadapkan pada perang dengan begara lain seperti Papua Nugini, Timor Leste dan Malaysia — yang secara langsung menyentuh tiga komponen sekaligus – kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keseamatan segala bangsa (keselamatan penduduk). Perbatasan lainnya berupa laut, yang dalam skenario paling buruk sekalipun bisa menyentuh kedaulatan tetapi belum tentu keutuhan wilayah dan agak jauh dengan keselamatan penduduk, negara-negara sekitar, kecuali Singapura dan Austalia mengembangkan platform centric, sehingga perkiran dominan tetap terkait dengan perang tradisional.
Kedua, sebagai negara pasca colonial, yang memang sebagian besar multi etnik, kerisauan utama adalah pada persatuan nasional (national unity) dan bermuara pada konsep tentang ketahanan nasional (national resilience). Seperti diketahui, konsep ini pada prinsipnya juga inward looking, fokus pada pembangunan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam. Ketahanan naisonal mirip konsep elements of national power (trigatra plus pancagatra), bukan instrument of national power. Sebagai elemen mereka harus dibina dikembangkan, namun sulit menemukan operational concept untuk menggunakan kekuatan gatra ideologi, politik, ekomomi, sosiolultual dan hankam.
Ketiga, ingatan kolektif (collective memory) paling kuat adalah penjajahan Belanda, ketika hanya Jawa (di luar wilayah Kesultanaan Yogya dan Kesunanan Solo) yang berada dalam penguasaan langsung (direct rules). Wilayah lain berada dalam jejaring hirarkis penguasaan lansgung dengan menggunakan elit lokal. Mimpi Indonesia (Indonesian dream), oleh karena itu, seperti antara lain tersurat dalam Mukadimah Konstitusi, adalah “kemerdekaan segala bangsa dari segala bentuk penjajahan dan manifestasinya”. Tidak mudah menyamakan mimpi itu dengan, misalnya mimpi Amerika (American Dream) yang dirumuskan dalam konteks “mencapai kehidupan yang lebih baik dengan memberi kesempatan yang sama tanpa memperhatikan lapisan sosial dan asal usul”. Demokrasi di Indonesia lebih terkait dengan checks and balances antar lembaga negara, tidak beranjak dari demokrasi sosial.
Karena itu dapat dimengerti jika visi negara Indonesia dalam percaturan global relatif terbatas pada membantu terwujudnya perdamaian dunia, selain dengan visi negara nasional yang tidak beranjak dari memelihara persatuan nasional, keutuhan teritorial, dan keselamataan negara. Paling jauh, visi itu adalah menjadi negara berpendapatan menengah (middle income), bukan negara berkekuatan menengah (middle power). Sebab itu, wajar jika hingga hari ini tidak terlalu jelas apa yang harus digunakan sebagai instrumen untuk mewujudkan citra-cita Indonesia. Ada kerancuan antara means dan ends. Di beberapa negara kita mengenal berbagai istilah, misalnya DIME (diplomasi, informasi/intelijen, militer dan ekonomi) atau MIDLIFE (militer, informasional, diplomasi, penegakan hukum, intelijen, bantuan keuangan dan ekonomi).
Di Indonesia rumusan tentang instrumen itu berbaur dengan unsur, seperti dalam konsep ketahanan nasional — sekalipun tidak terlalu jelas tentang bagaimana, misalnya menggunakan kekuatan ideologis Indoensia sebagai instrumen pada regional dan global. Selain itu, tidak banyak bekembang perkiraan tentang kemungkinan perang modern (modern warfare) dengan cyber attacks. Pertahanan negara baik, kita selamat bukan karena kita kuat, tetapi karena kita tidak punya musuh. Berbeda dengan Estonia dan Georgia dan Iran, Indonesia tidak berada dalam pusar kontestasi geopolitik antar negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Russia dan China. Kalaupun ada, ancaman cyberspace menjadi ruang di luar pertahanan negara, misalnya yang terkait dengan critical infrastructur dan perbankan.
Bina keamanan nasional
Bina keamanan nasional bagi Indonesia adalah bina bangsa (persatuan naisonal) dalam ruang fisik maupun maya dengan instrumen bina negara wibawa yang dilaksanakan oleh aparatur negara yang profesional, kompeten dan bertangungjawab tanpa mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Apa yang telah disajikan di atas menunjukan betapa bina keamanan nasional dalam konteks itu masih akan menghadapi sejumlah soal pada 5 (lima) tahun mendatang, bahkan mungkin dalam beberapa tahun kemudian. Keamanan menyeluruh sebuah negara bangsa tidak hanya mereka yang berada dalam konteks keutuhan wilayah dan kedaulatan dari eksternal (baca: TNI), kedaulatan stabilitas pemerintahan negara (keamanan negara) dan tertib hukum (Polri), kewaspadaan untuk mencegah pendadakan strategis (BIN) tetapi juga dalam konteks wawasan kebangsaan yang melampaui batas-batas wilayah nasional.
Pada tataran strategis dan operasional, perdebatan itu belum tuntas. Konsep keamanan global, non-tradisional, keamanan manusia maupun berbagai istilah yang digunakan dalam diskursus selama beberapa tahun belakangan ini bisa dipastikan akan memerlukan perpaduan antara pendekatan persuasif (politik, diplomatik, pembangunan) dan pendekatan yang bersifat koersif (pertahanan-militer, penegakan hukum, kontra-intelijen). Pemahaman konseptual lebih dari mencukupi. Diskursus keamanan nasional Indonesia sudah sejak pertengahan dasawarsa 1990an memasuki ranah baru. Keamanan komprehensif, ancaman multi dimensi, datang tanpa mengetuk pintu, datang dari dalam dan luar negeri, mencakup isu nasoinal dan transnasional/global dan masih banyak lagi.
Selain sejumlah persoalan yang sementara dan selama ini sudah dilaksanakan oleh TNI, Polri dan BIN persoalan lain adalah apakah konsep keamanan yang komprehensif itu akan dilaksanakan melalui strategi agregat atau sebaliknya, segregatif (integratif). Pilihan pertama meniscayakan pembentukan badan khusus yang bertangungjawab menjadi leading sector untuk ruang tertentu, misalnya Bakamla dan Badan Pengelola Perbatasan Nasional. Atau bisa juga, yang kedua, badan khusus untuk menghadapi kegentingan dan/atau eskalasi keadaan yang tidak dapat diatasi dengan instrumen normal. Pendekatan kedua ini akan lebih fokus pada “penindakan” daripada pencegahan. Secara teoritis ancaman terorisme, bencana dan serangan siber akan lebih efektif dirancang dengan model ini daripada dengan model pertama. Berbeda dari pengutamaan mekanisme koordinatif dalam model pertama, model yang kedua akan lebih banyak menggunakan integrasi kapasitas.
Dalam waktu yang tidak terlalu jauh ke depan, bisa dipasitkan Indonesia akan dihadapkan pada keharusan untuk memadukan pendekatan teoretis dan rigiditas birokratik. Masih banyak ancaman-ancaman yang layak untuk diperbicangkan lebih jauh. Peningkatan permukaan laut 50cm saja akan menenggelamkan ribuan pulau, atau paling tidak menyebabkan kontraksi landas kontinen, kawasan ekonomi eksklusif, dan sebab itu membawa risiko serius terhadap perbatasan wilayah negara. Entah berapa ribu penduduk harus menjadi kurban, dan karena itu juga menyangkut keamanan manusia. Belum lagi, teknologi baru juga melahirkan hybrid warfare, delayed chemical relations, atau berbagai bentuk ancaman baru yang tak mudah dideteksi.
Catatan akhir
Semua itu akan menjadi tantangan institusional, terkait perumusan peran dan tugas aparat negara dan sekaligus juga menjadi tantangan akademik bagi parailmuwan dan tantangan operasional bagi academics turn activist. Reasoning menjadi sesuatu yang amat penting. Namun reasons itu tetap harus melampaui batas-batas keilmuwan. Perwujudan dari ilmu, yang pasti beranjak dari paradigma tertentu, tidak bisa dilakukan dengan pengabaian konteks lokal atau asal muasal. Karena itu kecenderungan scientific sectarianism, kebenaran haiki sebuah ilmu, tetap harus dihindari. Janggal, jika tidak keliru, menganggap human security menggantikan, tidak sekedar menggeser, kecemasan terhadap keamanan negara (state security). Dua-duanya berada dalam ruang paradigma yang berbeda, tetapi menjadi tantangan serius bagi negara bangsa.
Tidak bijaksana untuk memperluas cakupan human seucrity sehingga menjangkau beberapa hal yang seharusnya tetap menjadi ranah human development. Ketimpangan ekonomi (spasial, sosial), misalnya memang merupakan tangtangan yang jika tidak dikelola dengan cara seksama akan bisa berujung pada ancaman terhadap human maupun state security; beigtu pula halnya dengan gagasan-gagasan transnasional baik itu berdasarkan landasan theologis dan particularisme ideologis maupun temuan-temuan di bidang dual use technology, jenis-jenis teknologi yang dapat digunakan untuk kesejahteraan umat manusia tetapoi sekaligus juga snejata panabur maut.
Yang tidak berubah ditengah berbagai perubahan yang tadi disampaikan adalah bahwa esensi utama dari pengamanan adalah perlindungan; esensi utama dari pembangunan adalah promosional. Ada ranah-ranah yang tetap hanya boleh barada pada ranah civilian government; ada ranah yang bisa berada dalam ranah security. Reaosns saja tidak cukup untuk merumuskan ranah itu. Bina keamanan nasional di negara pasca-colonial, yang memiliki mimpi tetapi belum merumuskan cita-cita, adalah sebuah arts.***
*) Naskah ini disampaikan dalam orasi ilmiah pada Dies Natalis yang ke-16 dan wisuda sarjana dan pasca sarjana Universitas Bhayangkara Jakarta Raya pada tanggal 3 Oktober 2018.