Kabareskrim

Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo (tengah) di Gedung Bareskrim, Jakarta Selatan, Selasa (15/12/2020).(Dok. Divisi Humas Polri)

Benarkah penentuan kepala institusi penegak hukum terbesar milik negara, Polri, hanya didasarkan pada kebutuhan keamanan dan ketertiban semata. Atau adakah hal lain yang dijadikan pijakan pertimbangan? Aiman mengupasnya!

Kamtibmas alias keamanan dan ketertiban masyarakat sejak reformasi 22 tahun silam, menjadi ranah Kepolisian Republik Indonesia setelah pemisahan dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) melalui Inpres Nomor 2 tahun 1999 yang ditandatangani oleh mendiang Presiden Habibie.

ABRI yang dikenal dengan kontroversi kebijakan dwifungsinya dihapuskan kemudian kembali memiliki nama Tentara Nasional Indonesia (TNI). TNI memiliki peran dan fungsi pada ranah Pertahanan Negara, sementara Polri pada ranah keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas).

Pemilihan pada pucuk pimpinan pada kedua institusi ini selalu menarik untuk dicermati. Terlebih pada kondisi saat ini, yang jauh memiliki tantangan yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.

Pertimbangan selain kamtibmas?

Tapi pertanyaannya kini, apakah pemilihan pucuk pimpinan Polri memiliki alasan hanya pada ranah kamtibmas? Tidakkah ada pertimbangan lain, yang sebelumnya tabu untuk dibicarakan, yakni pertimbangan situasi Politik pada pemilihan Polri?

Mengapa tabu?

Bagi sebagian kalangan, mencampuradukkan Polri dengan urusan Politik adalah sama halnya dengan mencampuradukkan hukum dengan politik. Hukum dianggap tak berdiri sendiri dan diintervensi oleh situasi politik.

Meski ternyata pada perkembangannya, kondisinya berbeda. Pada berbagai kejadian Kepolisian dihadapkan pada kekuatan politik dalam negeri yang dianggap berpotensi merusak persatuan dan kesatuan. Polisi turun tangan untuk meredakan dan sebagian memroses hukum jika dinilai ada pelanggaran di dalamnya.

Mau tidak mau, urusan politik yang tadinya dihindarkan, menjadi memiliki kesan bahwa ada campur tangan Polri dalam urusan politik. Ini kesan yang ditimbulkan. Meskipun ada alasan lainnya, kembali pada peran dan fungsi Polri untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat secara mutlak.

Politik eletoral di depan mata

Dari kondisi ini muncul pertanyaan, apakah pemilihan pucuk pimpinan Polri ini, masalah kamtibmas, kriminal, pidana, dan urusan lain yang menjadi tugas sehari-hari polisi, terdapat pula urusan politik yang jadi pertimbangan?

Terlebih politik elektoral alias pemilihan umum dan daerah di depan mata?

Guru besar Universitas Bhayangkara, Profesor Hermawan Sulistyo, biasa disapa Prof Kikiek, mengatakan pada saya di program AIMAN. “Pemilihan Kapolri itu 70 persen politik!” ungkapnya.

Sebab, urusan politik tak bisa dilepaskan dari urusan keamanan dan ketertiban masyarakat. Pergolakan pada urusan politik bisa menyebabkan gangguan pada kamtibmas.

Pada Pilkada 2017 di DKI Jakarta, siapa yang menyangka akan terjadi pergolakan politik luar biasa, yang berujung pada situasi kamtibmas selama beberapa bulan akibat menguatnya polarisasi terkait politik identitas berbasis di satu sisi agama dan di sisi lain klaim kelompok Pancasilais.

Pada 2019, nyaris serupa dengan apa yang terjadi pada 2017. Semuanya bermuara pada proses hukum, yang terjadi dan memunculkan sejumlah kesan dan argumentasi yang berbeda-beda di mata para pendukung yang terbelah.

Apakah pembelahan ini sudah selesai?

Jawabannya belum. Mereda, iya. Tetapi bara dalam sekam masih tersimpan!

Ketua Umum Ikatan Sarjana Profesi Perpolisian Indonesia (ISPPI), mantan Kabareskrim Polri 2009-2011 Komjen (Purn) Ito Sumardi, kepada saya mengungkapkan, “unsur politik tak bisa dipisahkan dari pertimbangan pemilihan Kapolri. Meskipun seluruhnya akan berada pada tangan Presiden untuk memutuskannya.”

Di depan ada potensi besar. Meskipun Undang-undang Pemilu saat ini mensyaratkan tidak ada Pilkada 2022, bukan tak mungkin ini semua akan berubah.

Gemanya saja sudah terasa dengan pembelahan saat Menteri Sosial Tri Rismaharini blusukan menyapa pemulung dan gelandangan, yang langsung dikaitkan akan menjadi pesaing Anies Baswedan pada Pilkada DKI Jakarta 2022 mendatang.

Jika Pilkada 2022 dibuka kembali, memang masuk akal. Karena banyak dari “jagoan-jagoan” survei Pilpres 2024, yang bakal kehilangan panggung. Sebut saja Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah), Ridwan Kamil (Gubernur Jawa Barat), dan Khofifah Indarparawansa (Gubernur Jawa Timur), yang semuanya akan berakhir pada 2023.

Semua pertimbangan untuk 2022, sangat mungkin berada pada tanggung jawab di pundak Kapolri yang baru nanti. Selain itu pula, semuanya Pilkada 2022 bermuara pada Pemilu 2024, di mana akan kembali ke titik nol. Semua punya peluang untuk menuju kursi Presiden selanjutnya.

Tak berlebihan, tahun 2022 dan 2024, adalah 2 tahun yang menjadi kunci ujian bagi Kapolri baru nanti. Selamat bekerja, semoga keamanan dan persatuan sebagai warga bangsa, dapat kita jaga bersama.

Saya Aiman Witjaksono… Salam!

Sumber: Kompas.com, 13 Januari 2021

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *