Pergeseran Motif Terorisme
SERANGKAIAN kasus teror bom , di Indonesia belakangan ini menyodorkan sejumlah pertanyaan akademik bagi para analis terorisme. Terutama bagi mereka yang meneliti motif dan kaitannya dengan modus operandi sasaran, bahan,’ dan instrumen yang digunakan; pola serangan; dan sebagainya.
Pertanyaan ini timbul, antara lain, karena pelaku terdiri atas keluarga (nuclear ataupun extended family), termasuk anak-anak. Studi tentang terorisme umumnya memang terfokus pada analisis terhadap individu dan jaringan pelaku, modus operandi, dan motif. Yang paling jarang diteliti adalah dimensi finansial dan ekonomi terorisme.
Setelah karya klasik Napolitan, hampir tidak ada studi yang komprehensif tentang dimensi ini. Tidak pernah diteliti secara serius, misalnya, dari mana saja sumber pendanaan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS/ISIS) untuk membeli peralatan tempur sekelas pasukan militer negara-negara besar.
Ini menimbulkan pertanyaan lanjutan, mengapa MIC (military industrial complex) dibiarkan saja oleh negara produsen memasok senjata kepada para teroris. Pada tataran yang lebih rendah, tetapi dalam skala yang jauh lebih masif, fenomena serupa didapati pada semua konflik bersenjata di Afrika, Filipina selatan, hingga Papua. Pada semua konflik dengan intensitas rendah semacam itu, seluruhnya didapati penggunaan senjata pabrikan, bukan sekadar, senjata rakitan.
Pergeseran modus-motif
Di Indonesia, puncak dari terorisme (bom) kontemporer adalah peristiwa Bom Bali I (2002). Ledakan dahsyat memanfaatkan bahan-bahan peledak dengan intensitas rendah (low explosives/ black powder) yang dikombinasi dengan bahan peledak berintensitas tinggi (high explosives) yang saat itu tampak aneh bagi para ahli bom: RDX, TNT, PETN.
Pengetatan penjualan bahan-bahan peledak yang diterapkan polisi menyebabkan penggunaan bahan peledak yang lebih mudah diperoleh. Hampir semua bom yang digunakan dalam 2-3 tahun terakhir adalah TATP yang diracik menjadi shrapnel pecahan peluru meriam.
Pergeseran modus beijalan seiring dengan pergeseran motif. Pada masa puncak kekuatan Al Qaeda hingga NIIS/ISIS dengan berbagai kelompok lain yang lebih kecil—motif utamanya adalah menghancurkan raksasa musuh Islam: Yahudi, Barat, Kristen, kafir.
Setelah Al Qaeda runtuh dan NIIS/ISIS tercerai-berai, motif yang lebih politis pun menguat, yaitu pembentukan negara khi- lafah. Pada periode ini, sasaran yang diincar umumnya simbol-simbol dunia Barat berupa pusat-pusat kapitalisme, seperti WTC, dan instalasi militer sebagai penjaga dunia Barat.
Kini, motif itu telah bergeser. Konsep ’’jihad” yang diyakini para teroris sebagai pengorbanan diri hingga kematian demi ’’memperjuangkan Islam” sekarang berubah menjadi upaya pribadi untuk menuju surga dengan cara cepat. Akibatnya, tujuan bom bunuh diri dilepaskan dari konteks. Tidak penting lagi apakah bom bunuh diri yang mereka lakukan memberikan kontribusi bagi dunia Islam universal atau khilafah. Yang penting mereka ’’masuk surga”.
“Tiket” ke surga
Jadi, untuk menuju surga tidak perlu lagi ■ menyerang markas utama polisi atau militer. Cukup melakukan bunuh diri di pos penjagaan saja karena satu penjaga sudah mewakili “thoguf yang di dalam markas besar, sebagai tiket masuk surga. Sama hal nya, tidak perlu lagi membawa dan meledakkan bom ke dalam gereja. Cukup di gerbang masuk saja karena itu pun sudah menjadi tiket ke surga.
Bahkan, mereka pun merasa tidak perlu menyembunyikan identitas karena tindakan teror yang dilakukan melalui bunuh diri bukan untuk dilanjutkan dengan rangkaian serangan berikutnya. Itulah sebabnya, ditemukan kartu keluarga (KK) yang dibawa oleh pelaku bom bunuh diri di Mapolresta Surabaya Serangan berikutnya adalah tugas teroris lain yang sama-sama ingin ke surga dengan cepat. Jaringan yang ada menjadi hanya berupa asosiasi ideologis dan keyakinan,bukan semata-mata organisasi yang ketat dengan tujuan perjuangan Islam yang lebih luas dari tujuan individual.
Oleh karena tujuannya mencari tiket ke surga, seorang teroris lelaki akan mengajak pasangannya untuk ikut bersama-sama ke surga, atau sebaliknya. Dan, mereka yang sudah punya anak akan mengajak serta anaknya. Semua anak kecil pasti suka main perang-perangan. Saat diajak ’’perang beneran”, mereka akan se- . nang karena konsep di benak mereka adalah bermain.
Dampak dari pola pelaku yang terdiri atas kelompok-kelompok keluarga ini luar biasa Sasaran menjadi random/acak, tidak bisa diprediksi. Berpadu dengan kelangkaan bahan peledak, senjata tajam saja sudah dianggap memadai. Pelaku tidak punya rasa takut karena memang mencari mati. Mereka justru marah kalau ditangkap polisi karena tidak jadi naik ke surga. Mereka memang mencari kematian.
Mereka teroris jenis baru. Mereka tidak surut dengan kampanye ’’kami tidak takut!”. Mereka tidak akan terkena program de- radikalisasi karena maunya sekali bertindak, selesai, lalu masuk surga. Tentu saja masih banyak teroris ’’jenis lama” yang harus kita perangi. Teroris yang lebih berjaringan, yang menggunakan jenis bom berdaya ledak lebih dahsyat daripada shrapnel. Semua itu tetap harus ditangani, tetapi tentu saja dengan perlakuan yang berbeda.***
Catatan editor: Artikel ini dimuat di Kolom Opini Kompas, edisi 14 Juli 2018.